Kamis, 17 Februari 2022

Menjadi Perempuan Financial Independent

 

Menjadi Perempuan Financial Independent

Oleh: Ratna Dewi Amaliyah

 

Memang tak selalu kuat dan mampu mengatasi setiap masalah dengan baik. Namun, dengan memiliki kemandirian dan kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri, aku memiliki kekuatan untuk mengupayakan yang terbaik di setiap keadaan sulit.

"Aduhh.. pake nyangkut segala ih," celetukku yang sedang terburu-buru merakit tali sepatu supaya rapi, alhasil malah terbelit dengan gelang butut di pergelangan tanganku.

Arunika belum tampak jelas dari timur. Dinginnya udara juga cukup menusuk pori-pori tubuh manusia pagi ini. Demi bisa mengejar bus di seberang desa, aku harus bergegas meninggalkan rumah. Bukan tanpa alasan melakukannya, aku dengan segenap perasaan gundah, gugup, dan grogi pagi ini sedang menunggu hasil pengumuman kelulusan dan pengumuman penerima beasiswa Perguruan Tinggi di sekolahku. Padahal jika ini bukan hari yang penting, sepagi ini aku pasti masih meringkuk di balik selimut, dan berkali-kali mematikan alarm yang sibuk berteriak membangunkanku dari mimpi panjang.

"Pak, Buk, aku berangkat dulu ya," pamitku sembari ku raih lalu ku cium tangan bapak ibuku yang sedang duduk heran menyaksikanku berlagak tak biasanya pagi ini.

"Ya. Ati-ati di jalan," sahut bapak.

"Tumben pagi-pagi gini ud... " belum sempurna ibuku mengomentari putrinya yang satu ini, aku dengan sigap lari, lalu memotongnya "Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab bapak dan ibuku kompak seraya menggelengkan lehernya mengamatiku.

"Nah, kan. Udah rame aja nih," ujarku sesampainya turun dari bus di depan gerbang sekolah.

"Rei!!" disentuh kasar bahuku dari belakang oleh perempuan sambil memanggil namaku ngegas. Sebut saja Mita. Ia adalah teman sekelas yang paling klop dan paling sefrekuensi denganku. Berperawakan tinggi dengan senyum pipit di satu pipinya, memancarkan kecantikan pada dirinya.

(Introruction stage) Namaku Reina Ravan Arabella. Perempuan berusia 18 tahun, yang kerap disapa dengan panggilan Reina. Aku adalah anak perempuan pertama dan perempuan satu-satunya dari kedua orang tuaku, Hermanto dan Linda Handayani. Keluargaku merupakan keluarga sederhana dengan lima anggota keluarga. Evan Mahendra yang merupakan anak sulung dari keluargaku, kini sudah berkeluarga dan menetap di Jakarta. Sedangkan Gavin Mahendra, ia adalah si bungsu yang kini masih duduk di bangku SD kelas lima.

"REI, REI. KAMU LULUS. KAMU LULUS BEASISWA KULIAH!!" sorak Mita menggegerkan sekitar, kini membuatku merinding tak percaya.

Aku yang masih belum yakin lantaran belum melihat, mengamati, dan menyaksikan sendiri hasil pengumuman tersebut, secepat mungkin ku masuk dalam kerumunan siswa-siswi itu sembari berkata "maaf ya, maaf".

Bibirku bergetar, air mataku terbendung hebat karena tak kuasa menahan kapan jatuhnya. Dalam hati kini ku berbisik "ya Allah, terimakasih. Terimakasih banyak". Seketika kedua tangan itu pun datang memelukku. Dengan baik hatinya, Mita menenangkan dan mengungkapkan rasa bahagianya atas pencapaian kita hari ini. Lulus dan diterima oleh Perguruan Tinggi dengan jalur beasiswa, itulah kabar menakjubkan pagi ini. 

Setelah empat tahun lamanya menempuh pendidikan jauh dari orangtua, membuatku semakin mengerti pentingnya mengatur diri sendiri. Mandiri, pantang menyerah dan pantang mengeluh, out of the box, keluar dari zona nyaman, serta mencoba hal-hal baru adalah asupanku selama tinggal di Jogja. Sampai tak terlewatkan, ku temui orang berlalu-lalang mengingatkan "Jangan sampai sepanjang kamu kuliah, kamu tidak membawa pulang apa-apa. Setelah pergi dari kota ini, bawa sifat merendahnya. Jangan sombong, dan membumi saja," itulah petuah bijak yang sering ku dengarkan dari lisan orang-orang hebat disini.

"Buk, Pak, sekarang aku yakin kalau usaha dengan niat tulus itu pasti akan membuahkan hasil yang maksimal," gumamku lirih.

Terlahir menjadi anak perempuan satu-satunya di keluarga adalah tanggung jawab besar yang harus ku pikul penuh keikhlasan. Merantau jauh dengan usaha dari kaki tangan sendiri disertai doa mujarab orang-orang tersayang, kini menjadikanku sebagai perempuan independen dan berpengetahuan. Melanjutkan pendidikan tanpa memberikan beban finansial terhadap orangtua dan keluarga sampai lulus, hingga ditempatkan pada pekerjaan yang layak adalah impian orang-orang. Namun benar adanya, bahwa keberuntungan itu tak selamanya menyertai kita. Jadi, selama kita berusaha, apabila realita belum sesuai dengan ekspektasi kita, bukan berhenti dan menyerah penyelesaiannya. Berusaha lagi, lagi, lagi, dan lagi sampai kita sudah berada pada titik kepuasan itu.

"Kringgg," bunyi ponselku berdering bertanda ada notif panggilan masuk untukku. Seketika ku raih ponsel itu dan ku angkat cepat.

"Halo?" ucapku mengawali.

"Assalamualaikum Nak," sahut suara perempuan dari speaker ponselku.

"Wa'alaikumussalam Buk," jawabku. Benar, itu adalah suara ibuku.

"Besok minta dibuatin apa?" tanya ibuku.

"Gak minta dibuatin apa-apa kok Buk," respons dariku.

"Ibuk minta dibawain apa dari Jogja?," balik ku bertanya kepada ibuku.

"Loh loh, ditanya kok malah balik tanya kamu ini," mulai ibuku berkomentar seraya membuatku terkekeh.

"Nggak usah bawa apa-apa. Kamu pulang aja udah buat Ibuk seneng," ucap ibuku mengimbuhi.

"Iya deh iya. Nggak bawa apa-apa kalo gitu," balasku. Padahal tidak mungkin jika tak ku bawakan apa-apa dari Jogja tatkala ku pulang ke rumah. Jogja dengan banyak macam oleh-oleh dan jajanan menggiurkan, mustahil jika tak membawakannya untuk keluarga di rumah.

"Buk, teleponnya ku tutup ya? Soalnya ini ada orang yang harus ku layani. Nanti setelah selesai kerja, aku telepon balik ke Ibuk," pamitku kepada ibuku di telepon.

"Iya, tutup aja Rei. Ibuk juga mau ke pasar sama Bapakmu ini," timbal ibuku mengiyakan.

"Iya Buk. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam." Jawab ibuku mengakhiri.

Reina Ravan Arabella. Kini ia sudah berusia 22 tahun. Bekerja di salah satu bank terbesar di Indonesia setelah meraih gelar akademik Sarjana Ekonomi adalah profesiku saat ini. Diajari untuk mengenal pengetahuan dasar perbankan, akuntansi, applikasi yang digunakan dalam perbankan, dan lain-lain adalah ilmu bermanfaat yang kudapatkan selama ku menjadi mahasiswi.

Setelah satu tahun lamanya selepas lebaran kemarin, aku yang belum lagi pulang ke kota Malang, besok adalah waktu yang tepat untukku berkunjung ke rumah guna melepas kerinduanku kepada keluargaku. Cuti dan menyisihkan waktu dari pekerjaan, kemudian menyapa, bergurau bersama, berbagi cerita, dan bisa memberikan apa yang mereka mau, tetap menjadi impian seorang anak perempuan tunggal kepada keluarganya. "Sampai ketemu besok semua," ucapku pelan, tanpa sengaja melinangkan air mata.


Menjadi Perempuan Financial Independent

  Menjadi Perempuan Financial Independent Oleh: Ratna Dewi Amaliyah   Memang tak selalu kuat dan mampu mengatasi setiap masalah dengan...