Menjadi
Perempuan Financial Independent
Oleh: Ratna Dewi Amaliyah
Memang tak selalu kuat dan mampu
mengatasi setiap masalah dengan baik. Namun, dengan memiliki kemandirian dan
kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri, aku memiliki kekuatan untuk mengupayakan
yang terbaik di setiap keadaan sulit.
"Aduhh.. pake nyangkut segala
ih," celetukku yang sedang terburu-buru merakit tali sepatu supaya rapi,
alhasil malah terbelit dengan gelang butut di pergelangan tanganku.
Arunika belum tampak jelas dari
timur. Dinginnya udara juga cukup menusuk pori-pori tubuh manusia pagi ini.
Demi bisa mengejar bus di seberang desa, aku harus bergegas meninggalkan
rumah. Bukan tanpa alasan melakukannya, aku dengan segenap perasaan gundah,
gugup, dan grogi pagi ini sedang menunggu hasil pengumuman kelulusan dan
pengumuman penerima beasiswa Perguruan Tinggi di sekolahku. Padahal jika ini
bukan hari yang penting, sepagi ini aku pasti masih meringkuk di balik selimut,
dan berkali-kali mematikan alarm yang sibuk berteriak membangunkanku
dari mimpi panjang.
"Pak, Buk, aku berangkat dulu
ya," pamitku sembari ku raih lalu ku cium tangan bapak ibuku yang sedang
duduk heran menyaksikanku berlagak tak biasanya pagi ini.
"Ya. Ati-ati di jalan,"
sahut bapak.
"Tumben pagi-pagi gini ud...
" belum sempurna ibuku mengomentari putrinya yang satu ini, aku dengan
sigap lari, lalu memotongnya "Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam,"
jawab bapak dan ibuku kompak seraya menggelengkan lehernya mengamatiku.
…
"Nah, kan. Udah rame aja nih,"
ujarku sesampainya turun dari bus di depan gerbang sekolah.
"Rei!!" disentuh kasar
bahuku dari belakang oleh perempuan sambil memanggil namaku ngegas. Sebut saja
Mita. Ia adalah teman sekelas yang paling klop dan paling sefrekuensi denganku.
Berperawakan tinggi dengan senyum pipit di satu pipinya, memancarkan kecantikan
pada dirinya.
(Introruction
stage) Namaku Reina Ravan Arabella.
Perempuan berusia 18 tahun, yang kerap disapa dengan panggilan Reina. Aku
adalah anak perempuan pertama dan perempuan satu-satunya dari kedua orang
tuaku, Hermanto dan Linda Handayani. Keluargaku merupakan keluarga sederhana
dengan lima anggota keluarga. Evan Mahendra yang merupakan anak sulung dari
keluargaku, kini sudah berkeluarga dan menetap di Jakarta. Sedangkan Gavin
Mahendra, ia adalah si bungsu yang kini masih duduk di bangku SD kelas lima.
"REI, REI. KAMU LULUS. KAMU
LULUS BEASISWA KULIAH!!" sorak Mita menggegerkan sekitar, kini membuatku
merinding tak percaya.
Aku yang masih belum yakin lantaran
belum melihat, mengamati, dan menyaksikan sendiri hasil pengumuman tersebut,
secepat mungkin ku masuk dalam kerumunan siswa-siswi itu sembari berkata
"maaf ya, maaf".
Bibirku bergetar, air mataku
terbendung hebat karena tak kuasa menahan kapan jatuhnya. Dalam hati kini ku
berbisik "ya Allah, terimakasih. Terimakasih banyak". Seketika kedua
tangan itu pun datang memelukku. Dengan baik hatinya, Mita menenangkan dan
mengungkapkan rasa bahagianya atas pencapaian kita hari ini. Lulus dan diterima
oleh Perguruan Tinggi dengan jalur beasiswa, itulah kabar menakjubkan pagi
ini.
…
Setelah empat tahun lamanya menempuh
pendidikan jauh dari orangtua, membuatku semakin mengerti pentingnya mengatur
diri sendiri. Mandiri, pantang menyerah dan pantang mengeluh, out of the box,
keluar dari zona nyaman, serta mencoba hal-hal baru adalah asupanku selama
tinggal di Jogja. Sampai tak terlewatkan, ku temui orang berlalu-lalang
mengingatkan "Jangan sampai sepanjang kamu kuliah, kamu tidak membawa
pulang apa-apa. Setelah pergi dari kota ini, bawa sifat merendahnya. Jangan
sombong, dan membumi saja," itulah petuah bijak yang sering ku dengarkan
dari lisan orang-orang hebat disini.
"Buk, Pak, sekarang aku yakin
kalau usaha dengan niat tulus itu pasti akan membuahkan hasil yang
maksimal," gumamku lirih.
Terlahir menjadi anak perempuan
satu-satunya di keluarga adalah tanggung jawab besar yang harus ku pikul penuh
keikhlasan. Merantau jauh dengan usaha dari kaki tangan sendiri disertai doa
mujarab orang-orang tersayang, kini menjadikanku sebagai perempuan independen
dan berpengetahuan. Melanjutkan pendidikan tanpa memberikan beban finansial
terhadap orangtua dan keluarga sampai lulus, hingga ditempatkan pada pekerjaan
yang layak adalah impian orang-orang. Namun benar adanya, bahwa keberuntungan
itu tak selamanya menyertai kita. Jadi, selama kita berusaha, apabila realita
belum sesuai dengan ekspektasi kita, bukan berhenti dan menyerah
penyelesaiannya. Berusaha lagi, lagi, lagi, dan lagi sampai kita sudah berada
pada titik kepuasan itu.
"Kringgg," bunyi ponselku
berdering bertanda ada notif panggilan masuk untukku. Seketika ku raih ponsel
itu dan ku angkat cepat.
"Halo?" ucapku mengawali.
"Assalamualaikum
Nak," sahut suara perempuan dari speaker ponselku.
"Wa'alaikumussalam
Buk," jawabku. Benar, itu adalah suara ibuku.
"Besok minta dibuatin
apa?" tanya ibuku.
"Gak minta dibuatin apa-apa kok
Buk," respons dariku.
"Ibuk minta dibawain apa dari
Jogja?," balik ku bertanya kepada ibuku.
"Loh loh, ditanya kok malah
balik tanya kamu ini," mulai ibuku berkomentar seraya membuatku terkekeh.
"Nggak usah bawa apa-apa. Kamu
pulang aja udah buat Ibuk seneng," ucap ibuku mengimbuhi.
"Iya deh iya. Nggak bawa
apa-apa kalo gitu," balasku. Padahal tidak mungkin jika tak ku bawakan
apa-apa dari Jogja tatkala ku pulang ke rumah. Jogja dengan banyak macam
oleh-oleh dan jajanan menggiurkan, mustahil jika tak membawakannya untuk
keluarga di rumah.
"Buk, teleponnya ku tutup ya?
Soalnya ini ada orang yang harus ku layani. Nanti setelah selesai kerja, aku
telepon balik ke Ibuk," pamitku kepada ibuku di telepon.
"Iya, tutup aja Rei. Ibuk juga
mau ke pasar sama Bapakmu ini," timbal ibuku mengiyakan.
"Iya Buk. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Jawab ibuku mengakhiri.
Reina Ravan Arabella. Kini ia sudah
berusia 22 tahun. Bekerja di salah satu bank terbesar di Indonesia setelah
meraih gelar akademik Sarjana Ekonomi adalah profesiku saat ini. Diajari untuk
mengenal pengetahuan dasar perbankan, akuntansi, applikasi yang digunakan dalam
perbankan, dan lain-lain adalah ilmu bermanfaat yang kudapatkan selama ku
menjadi mahasiswi.
Setelah satu tahun lamanya selepas
lebaran kemarin, aku yang belum lagi pulang ke kota Malang, besok adalah waktu
yang tepat untukku berkunjung ke rumah guna melepas kerinduanku kepada
keluargaku. Cuti dan menyisihkan waktu dari pekerjaan, kemudian menyapa,
bergurau bersama, berbagi cerita, dan bisa memberikan apa yang mereka mau,
tetap menjadi impian seorang anak perempuan tunggal kepada keluarganya. "Sampai
ketemu besok semua," ucapku pelan, tanpa sengaja melinangkan air mata.